Selasa, 13 Desember 2011

TEORI KARL MARX

BAB 1
LATAR BELAKANG SOSIAL POLITIK KARL MARX

Karl Marx merupakan seorang filosof Jerman yang lahir pada bulan Mei 1818 di Treier, Jerman.[1] Treier saat itu merupakan wilayah yang berada dibawah kekaisaran Prussia. Heinrich Marx, ayah Karl Marx, bekerja sebagai pengacara dan hidup bahagia sebagai kelas menengah yang mapan. Orangtua Marx berasal dari keluarga keturunan Yahudi yang merupakan kelompok minoritas di Jerman. Sebagai kelompok minoritas, bangsa Yahudi mendapat perlakuan diskriminatif dari pemerintah dan masyarakat Jerman. Agar keluarga Marx memperoleh keamanan, Heinrich Marx memilih untuk memeluk agama Kristen Lutheran.[2] Heinrich Marx dikenal kritis terhadap pemerintah, terbukti pada saat Karl Marx berusia 16 tahun ayahnya hampir ditangkap oleh pemerintah karena berpidato mendukung reformasi pemerintahan.
Karl Marx muda dikenal sebagai seorang pelajar yang cerdas dan kritis. Pada usia 17 tahun, Marx disekolahkan di Fakultas Hukum Universitas Bonn. Di universitas ini Marx dikeluarkan karena ia dianggap memimpin gerakan kaum gay dan pernah dipenjara sekali karena ia dianggap berperilaku tidak baik. Setahun kemudian Marx dipindahkan ke Universitas Berlin dan mengambil jurusan yurisprudensi. Marx menyelesaikan studi doktoralnya di Berlin dengan disertasi yang berjudul “The Difference between the Natural Philosophy of Democritus and Epicurus” pada tahun 1841.[3]
Marx sebenarnya berencana berkarier sebagai akademisi. Tetapi di tahun yang sama saat lulus studi doktoral, ia mendapat pekerjaan sebagai reporter di majalah jurnal ilmiah yang dimiliki oleh kelompok kelas borjuis. Jurnal ilmiah yang bernama Rheinische Zeitung ini mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah Prussia dan mendukung kelompok pengusaha. Setahun kemudian, Marx diangkat menjadi editor. Majalah jurnal ilmiah ini pada tahun 1843 ditutup oleh penguasa yang berwenang. Penutupan ini tidak membuat Marx menjadi takut untuk mempelajari politik dan ekonomi, justru ia semakin ingin memahami kedua bidang studi tersebut.[4]
Marx kemudian pergi ke Perancis untuk mempelajari ekonomi. Ia mendapat pekerjaan sebagai editor untuk majalah Paris yang bernama Deutsche-Franzosische Jahrbuhcher. Selama di Paris ia bertemu dengan Friedrich Engels, seorang radikal Jerman dan anak seorang pengusaha manufaktur. Semenjak itu keduanya menjadi akrab dan menjadi kolaborasi yang hebat. Kolaborasi keduanya sulit untuk dipisahkan dalam studi Marxisme. Marxisme dianggap sebagai hasil kolaborasi Marx dan Engels. Meskipun Engels tidak mempunyai pemikirian sekreatif Marx tetapi Engels mempunyai pengetahuan sejarah yang luas. Selain itu bantuan ekonomi yang diberikan Engels kepada Marx, membuat Marx lebih berkonsentrasi. Hal ini berpengaruh positif positif terhadap karya tulis Marx.[5]
Marx tidak lama berada di Perancis, pemerintah Prussia meminta pemerintah Perancis untuk mengusir Karl Marx dan Friedrich Engels dari wilayahnya. Pada tahun 1845, Marx dan Engels keluar dari Perancis kemudian pindah ke Brussels, Belgia. Selama di Brussels, Marx dan Engels bergabung dengan Deutscher Arbeiterbildungsverein (Asosiasi Pekerja Pendidikan Jerman) yang merupakan sekutu dari organisasi rahasia yang bernama Bund der Kommunisten (Liga Komunis). Keikutsertaan Marx dan Engels dalam organisasi tersebut bertujuan untuk mempraktekkan secara langsung teori-teori atau konsep-konsep yang telah mereka pelajari. Menurut Marx, selama ini para filosof hanya menginterpretasi dunia dengan berbagai cara, tetapi tidak berusaha untuk mengubahnya. Atas permintaan Liga Komunis pada tahun 1848, Marx dan Engels buku The Communist Manifesto.[6]
Dalam The Communist Manifesto dijelaskan bahwa sejarah peradaban adalah sejarah perjuangan kelas. Lebih lengkap dijelaskan oleh Ahmad Suhelmi dalam bukunya “Pemikiran Politik Barat”,  sejarah dari semua masyarakat yang ada sampai saat ini adalah cerita dari perjuangan kelas. Kebebasan dan perbudakan, bangsawan dan masyarakat biasa, borjuis (yang memiliki alat produksi dan memperoleh keuntungan dengan meneksploitasi kelas pekerja) dan proletar (kelas pekerja), tuan dan pelayan, kepala serikat pekerja dan para tukang, atau dengan kata lain antara penekan dengan yang ditekan, ada pada suatu posisi yang selalu bertentangan antara satu dengan lainnya, dan terus berlangsung. Hubungan yang tidak seimbang ini akan menciptakan antagonisme kelas yang  akhirnya akan menciptakan krisis revolusioner. Bila keadaan ini terus berlangsung maka kelas pekerja akan menjadi kelas revolusioner. Hal ini berarti mereka akan menjadi kelas yang melakukan perubahan struktural dengan cara pengambilalihan paksa kekuasaan (revolusi). Bila kelas pekerja berhasil merebut kekuasaan maka akan tercipta suatu masyarakat tanpa kelas. Masyarakat tanpa kelas mempunyai ciri lenyapnya perbedaan kelas dan produksi dikuasai oleh bangsa. Selain itu, sistem kekuasaan (negara) tidak lagi mempunyai sifat represif dan menindas.[7]
Tulisan Marx dan Engels ini membawa pengaruh besar terhadap terjadinya gelombang pemberontakan di sebagian besar negara-negara Eropa Barat. Pemberontakan terjadi di Italia (Milan, Roma, dan Venesia) dan Prussia (Berlin, Wina dan Budapest). Pemberontakan ini diperkirakan akan seperti gerakan revolusi proletar Marx. Marx sendiri tidak ikut dalam gerakan kelas pekerja di Prussia dan memilih menetap di Paris. Ia pun bersikap antipati terhadap gerakan tersebut dengan menyatakan bahwa gerakan itu akan dengan mudah dilenyapkan oleh pemerintah.[8]
Dilain pihak, Marx berhasil membujuk kelompok industrialis untuk mengembalikan kembali majalah jurnal ilmiahnya yang kemudian bernama New Rheinische Zeitung. Tidak berbeda dengan jurnal ilmiah sebelumnya, jurnal ini mendukung kelompok pengusaha dan tetap anti pemerintah. Namun jurnal ini seperti jurnal sebelumnya dihentikan oleh penguasa setempat dan Marx ditahan. Sebelum ditahan, Marx masih sempat mengedarkan edisi terakhir dari jurnalnya yang hurufnya dicetak dengan menggunakan tinta merah. Ia kemudian memberikan pembelaannya di pengadilan yang membuat kagum sebagian besar orang yang hadir di persidangannya. Ia menyebutkan bahwa revolusi yang menggunakan kekerasan tidak begitu diperlukan. Bagi beberpa pihak seperti Eduard Bernstein dan Karl Kautski menyebutkan pemikiran Marx ini sebagai revisionis. Karya Marx selanjutnya The Eighteenth Brumaire of Louis Napoleon menggambarkan keadaan Paris pada tahun 1848 ketika Louis Napoleon menjadi pemimpin Perancis. Marx memandang kebodohan kelas proletarian menyebabkan kelas borjuis tetap berkuasa di Perancis. Ia berpendapat bahwa Perancis tidak banyak berubah dari sebelumnya pada masa Raja Louis Philippe disebut sebagai monarki borjuis, maka pada saat Presiden Louis Napoleon disebut sebagai republik borjuis.[9]
Diusir dari Prussia pada Juli 1849, Marx hanya mempunyai satu tempat yaitu Inggris. Ia berharap tidak akan lama berada disana namun pada akhirnya Inggris menjadi tempat peristirahatan terakhir dari Marx. Marx tinggal bersama satu keluarga besar di London. Ia hidup dari bantuan pinjaman dari Engels. Kegiatan sehari-hari Marx dimulai dari pukul 10 siang hingga 7 malam. Ia menghabiskan banyak waktunya di ruang membaca British Museum. Selama 2 tahun ia berhasil menyelesaikan 1472 halaman yang disusun dalam 23 buku. Pada tahun 1867 salah satu karya terbaik Karl Marx diterbitkan volume pertama dari Das Kapital. Volume kedua, ketiga, dan keempat tidak dipublikasikan hingga meninggalnya Marx pada tanggal 14 Maret 1883.[10]













BAB 2
PEMIKIRAN KARL MARX

2.1. Sejarah Materialisme dan Dialektika

Karena terganggu oleh beberapa pembacanya, Marx pernah berkata bahwa ia bukanlah seorang Marxis. Teori materialisme dan dialektika tidak terlalu diperhatikan oleh Marx sendiri. Bahkan dalam bukunya yang berisi tentang hasil pemikiran teoritis, Das Kapital, Marx sedikit menyinggung mengenai dialektika materialisme. [11]
Pemikiran Marx mengenai dialektika dan materialisme tidak dapat lepas dari pengaruh Hegel. Hegel adalah filosof membuat konsep mengenai dialektika. Lee Cameron McDonald melihat Marx mengambil konsep dialektika Hegel dan mengubahnya dengan konsep materialisme kelas untuk menjelaskan proses sejarah dengan melihat faktor materialistik daripada faktor idealis.[12]   
Dialektika Hegel adalah suatu proses antagonisme tesis dengan antitesis yang melahirkan sitesis. Hal ini akan terus berlangsung. Proses dialektika akan berhenti ketika telah tercapai suatu ide mutlak. Bagi Marx dan Engels, dialektika adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum gerak, perkembangan alam, manusia, dan pemikirannya. Engels kemudian berusaha membuktikan kebenaran dialektika dengan menerapkan konsep tersebut dalam konteks ilmu biologi. Marx sendiri tidak begitu tertarik dengan penerapan dialektika dengan menggunakan konteks ilmu biologi. [13]
Materialisme menurut Marx adalah faham mengenai kebendaan. Marx meyakini bahwa perkembagan peradaban manusia dipengaruhi oleh kebendaan material. Pengaruh material tidak hanya mempengaruhi proses hubungan sosial manusia dan pembentukan struktur politik tetapi juga membagi kelas-kelas sosial. Materi dapat berbentuk modal kekuatan ataupun alat-alat produksi. Materi menurut Marx merupakan basis, sedangkan kehidupan sosial, politik, filsafat, agama, dan negara merupakan suprastruktur. Marx membagi klasifikasi peradaban Eropa dalam empat periode yaitu komunisme primitif, perbudakan, feodalisme, kapitalisme. Kapitalisme merupakan masa transisi ke suatu masa yang mengarah ke diktator proletariat. Faham materialisme inilah yang kemudian menjadi dasar pemikiran mengenai konsep determinasi ekonomi dalam sejarah.[14]
Selain berbeda pendapat dalam menjelaskan dialektika, Marx juga tidak sependapat dengan Hegel yang menyatakan bahwa filosofi hanya dapat dipahami oleh dunia, tapi tidak untuk mengubahnya. Bagi Marx filosofi berguna untuk mengubah dunia, semua bagian dari filosofi adalah kunci dari sejarah. Menurutnya sebuah pemikiran adalah proses alami, sebuah hipotesis tidak dapat dibuktikan dengan spekulasi, tetapi hanya bisa dapat dibuktikan melalui praktek. Ketika semua bentuk filosofi tidak ada lagi di dunia, Marx yakin bahwa filosofi sosial akan hilang dan hanya akan menjadi suatu ilmu yang deskriptif.[15]
Dalam mengkritik Hegel, Marx dan Engels mengadopsi banyak pendapat dari Ludwig Feuerbach (1804-1872), disebut “Hegel Muda” yang menulis Zur Kritik der Hegelschen Philosophie (A Criticsm of Hegelian Philosophy), sebuah buku penting bagi materialisme.[16] Feurbach tidak hanya menggunakan dasar filosofi dalam menganalisa suatu masalah tetapi ia juga menggunakan pendekatan sosiologi, psikologi, dan antropologi agama. Tetapi Marx juga mengkritik Feuerbach karena meninggalkan analisis historis dalam membuat asumsi.

2.2. Alienasi

Meskipun hampir dalam setiap penulisan karyanya Marx menggunakan pendekatan ekonomi dan politik, Marx muda menunjukkan ketertarikannya pada psikologi. Marx memfokuskan pada kategori impersonal dan kolektif yang kemudian dikenal dengan pengkategorian ilmu sosial. Konsep alienasi ditulis oleh Marx dalam kumpulan tulisannya yang berjudul Economic and Philosophic Manuscript. Dalam tulisannya, konsep alienasi ini telah muncul dalam tulisan Hegel yang berjudul Phenomeology of Spirit. Hegel menulis alienasi adalah suatu proses pengenalan individu terhadap keadan yang asing di luar dirinya.[17]
Marx mengkritik Hegel dalam tulisannya yang berjudul Hegel’s Philosophy of the State dikatakan bahwa Hegel melupakan pengaruh jahat dari faktor uang. Menurut Marx seorang manusia teralienasi dari dunia tidak hanya dalam pemikirannya tetapi secara keseluruhan. Alienasi dari kelas pekerja dalam produksi ekonomi adalah faktor penting dalam proses produksi. Marx membaca tulisan-tulisan penulis kapitalisme seperti Adam Smith dan J.B. Say, dan menyimpulkan bahwa doktrin kapitalisme “The Iron Law of Wages” didesain untuk mengalienasi kelas pekerja. Proses alienasi ini dengan mempengaruhi pikiran kelas pekerja yaitu dengan cara membuat kelas pekerja beriorientasi penuh kepada uang. Alienasi membuat manusia tidak lagi berperilaku atau bertindak secara alamiah, mereka seperti diperbudak oleh kapital atau uang.
Hal ini membuat manusia berpikir bahwa semakin sedikit ia makan, minum, membaca buku; semakin jarang ia pergi ke teater, lantai dansa; semakin jarang ia berpikir, mencintai, berteori, bernyanyi, melukis, dan sebagainya maka akan semakin banyak uang atau kapital yang dapat ia kumpulkan. Semakin sedikit manusia mengekspresikan kehidupannya maka semakin besar ia teralienasi. Alienasi terhadap masyarakat juga terjadi pada kelas pekerja karena mereka tidak mempunyai waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan masyarakat karena panjangnya waktu bekerja. Sehingga dapat dikatakan bahwa kelas pekerja tidak lagi menjadi makhluk sosial. [18]
Marx memandang bahwa kelas pekerja terasing dari hasil pekerjaannya karena komoditas yang didalamnya terdapat kelas pekerja tidak dapat dimiliki oleh mereka untuk kepentingannya sendiri. Komoditas tersebut justru digunakan oleh kelas borjuis untuk kepentingan mereka sendiri dengan menindas kelas pekerja.[19]
Kapitalisme mengubah sifat alamiah manusia menjadi berorientasi uang dan kekayaan. Kapitalisme juga menyebabkan manusia berpikir jika ada sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh manusia, maka dengan uang segala hal yang mungkin dapat dilakukan. Marx kemudian menyatakan keberadaan manusia di dalam masyarakat adalah hal yang paling penting. Keberadaan dapat diartikan seberapa besar kekayaan seseorang.[20] Status kaya atau tidak seseorang akan menentukan kesadaran atau sikap seseorang. Orang kaya akan berpikir bagaimana meningkatkan kekayaannya dan mempertahankan posisinya. Sedangkan orang miskin memikirkan bagaimana mencari uang untuk kebutuhan sehari-hari sehingga ia akan berpikir bagaimana cara memperbaiki kehidupannya yaitu dengan melakukan perubahan di dalam masyarakat.
Oleh karena itu, Marx menyerang sistem sosial yang buta dalam membuat dehumanisasi manusia yang melepaskan manusia dari identitas personalnya. Selanjutnya dalam tulisannya Marx menjadi semakin abstrak dan ilmiah dalam memperlihatkan bahwa alienasi dalam faktor ekonomi sangat dibutuhkan dan terjadi secara universal.

2.3. Perkembangan Teori Objektivitas

Marx tidak mengindahkan kapasitas dari manusia untuk berpikir. Namun ia menolak jika manusia dapat berpikir tanpa dipengaruhi faktor luar. Marx merasa bahwa ia telah menemukan suatu kekuatan ekonomi yang mampu membentuk suatu pemikiran individu. Ia melihat bahwa hubungan legal dalam pembentukan negara tidak dapat dijelaskan oleh pemikiran manusia secara umum, tetapi dengan adanya kondisi material dalam kehidupan, penjelasan mengenai pembentukan negara dapat dimungkinkan. Tidak hanya dalam pembentukan negara tetapi karakter dari proses sosial, politik dan spiritual dalam kehidupan dipengaruhi oleh mode produksi. Selain itu, adanya perbedaan antara hubungan atau mode produksi manusia dengan kekuatan atau kekuasaan yang memaksa manusia untuk melakukan produksi.
Menurut Marx pembabakan sejarah peradaban Eropa Barat dimulai dari ekonomi primitif agrarian, dilanjutkan dengan perbudakan, kemudian feudalisme, ekonomi kapitalisme (bourgeois economy), dan terakhir ekonomi sosialisme (socialist economy). Kembali Marx menjelaskan bahwa pembabakan peradaban manusia dipengaruhi oleh kekuatan materialisme bukan karena inisiatif manusia itu sendiri.[21]
Perkembangan kapitalisme juga menyebabkan berkembangnya teknologi. Perkembangan menurut ekonom laissez faire tidak dapat dikontrol oleh individu. Teknologi membuat proses produksi menjadi lebih baik atau lebih efisien. Namun pada perkembangannya sistem sosial tidak dapat menoleransi perkembangan teknologi yang begitu pesat. Sistem sosial (relations of production) tidak lagi dapat efisien di dalam perkembangan teknologi (forces of production).[22]
Selain itu konsep mengenai legal, politik, religius, atau filosofis dilihat oleh Marx tidak lebih dari superstruktur yang dibangun dari substruktur ekonomi. Sebelum Marx, keputusan dari seorang raja dan panglima militer dapat dilihat sebagai contoh dari sejarah. Pada saat ini contohnya berkembang ideologi-ideologi di dalam peradaban. Semua pemikiran dianggap sebagai ideologi, bahkan agama Kristen yang dianggap opium bagi masyarakat juga dianggap sebagai ideologi. Marx tidak begitu perduli mengenai perkembangan ideologi, baginya hal-hal tersebut merupakan suprastruktur yang tidak dapat lepas dari substruktur ekonomi.[23]
Namun mengapa ketertarikan ekonomi menjadi hal yang utama dalam pemikiran Marx? Marx dengan metodologi yang apriori tidak dapat membuktikan bahwa ekonomi merupakan faktor fundamental daripada umur, kebangsaan, hubungan darah, dan faktor lainnya. Penelitian yang pragmatis dari Marx menjadi kekuatan maupun kelemahannya. Kekuatan dari teori Marx adalah tidak terdapat peneliti atau filosof lain yang membahas mengenai penelitian ini, tetapi sebaliknya ketika ia dihubungkan antara kelas ekonomi dengan ideologi terdapat satu permasalahan karena ekonomi tidak dapat menjadi faktor penentu periode-periode perkembangan sejarah peradaban manusia.[24]
Marxisme menurut McDonald, gagal dalam menjelaskan posisi kelas dengan perkembangannya. Marx, seperti Engels, Lenin, Trotsky dan banyak filosof Marxisme lainnya berasal dari kelas menengah, bukan berasal dari kelas pekerja. Sebenarnya hal ini bukanlah menjadi kesulitan bagi Marx. Para pembuat teori selalu membuat pengecualian terhadap teorinya. Marx tidak terlalu tertarik daplam membuktikan kekuatan suatu kelas dengan psikologi individu. Marx lebih tertarik kepada suatu pengerahan massa secara besar-besaran untuk membuat sejarah, yang dapat membuat suatu perubahan besar di dalam suatu negara misalnya penggulingan kelas yang berkuasa.[25]
Hal lain yang membuat permasalahan konsep marxisme Marx adalah definisi kelas. Marx dalam bukunya The Communist Manifesto menggambarkan ada dua kelas di dalam masyarakat yaitu kelas borjuis dengan kelas orang miskin yang dicontohkan kelompok pekerja. Kedua kelas ini dibedakan oleh kepemilikan alat-alat produksi.[26] Bagaimana dengan kelas yang bukan termasuk kedalam keduanya? Marx mencontohkan pada kelompok petani di Perancis mereka bukanlah kelas. Menurutnya, petani bukan kelas karena mereka masih mempunyai individualisme dan eksklusifitas yang tinggi. Mereka tidak mempunyai suatu kesamaan ketertarikan, koneksi nasional, dan organisasi politik, sehingga mereka bukan disebut sebagai kelas. Pendapat ini menurut McDonald ambigu karena pada perkembangannya kelompok petani yang berperan besar dalam melakukan revolusi di beberapa negara di abad ke-20. tanpa adanya kriteria ilmiah yang objektif mengenai kelas, sulit untuk dikatakan bahwa kelas sosial mempunyai pengaruh yang fundamental dalam sejarah. Teori Marx mengenai objektifitas menjadi tidak begitu jelas karena interpretasi yang subjektif. [27]

2.4. Theory of Surplus Value (Teori Nilai Lebih)

Penindasan yang terjadi di dalam suatu proses produksi dilakukan oleh industri. Di dalam proses produksi tenaga kerja atau buruh menjadi unsur penting disamping alat-alat produksi dan bahan mentah. Buruh mengoperasikan alat produksi dan pekerjaan-pekerjaan lain hingga komoditas dapat dihasilkan. Penindasan kelas pekerja terjadi karena gaji yang diterima oleh buruh lebih kecil dari nilai tenaga kerja yang telah diberikan oleh buruh didalam proses produksi. Karena gaji buruh lebih kecil dari nilai tenaga buruh yang sudah diberikan, terdapat kelebihan uang yang menjadi bagian dari keuntungan yang didapat oleh kelas borjuis. Kelas borjuis dianggap mendapatkan kekayaan dari keringat buruh atau dengan kata lain sebagian keuntungan yang didapat oleh kelas borjuis sebenarnya adalah hak buruh. Gaji yang diterima oleh kelas pekerja berada dalam batas hidup secara pas-pasan. Gaji yang diterima oleh mereka adalah gaji yang hanya cukup untuk bertahan hidup sehingga mereka akan datang kembali ke tempat pekerjaan. Adanya perbedaan antara gaji buruh dengan nilai tenaga kerja ini disebut oleh marx sebagai The Theory of Surplus Value (teori nilai lebih).[28]
Teori ini dibuat Marx untuk memperlihatkan kepada kapitalis sebagai suatu model yang tidak dapat dilupakan oleh mereka sendiri karena berdasar pada asumsi-asumsi dasar kapitalis. Pekerja (buruh) adalah komoditas, sehingga sesuai dengan teori pekerja tentang nilai, seorang pekerja hanya dapat bernilai berdasarkan waktu kerjanya dalam berproduksi. Penilaian ini membuat kapitalis hanya menghargai kelas pekerja pada level kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Keadaan ini yang terjadi pada kelas pekerja di masa Marx yang menyebabkan Marx menyebut gaji pekerja sama saja dengan gaji seorang budak. Tidak seperti komoditas yang lain, pekerja tidak dikonsumsi pada suatu periode waktu yang jelas. Seorang pekerja di”beli” dengan harga yang sesuai dengan fisik mereka, dalam arti seberapa lama ia dapat bekerja antara 10 hingga 14 dalam sehari. Perbedaan antara apa yang para pekerja lakukan (yang diatur oleh arbitrasi standar kerja harian) dengan gaji yang ia terima (diatur berdasarkan kompetisi), adalah surplus value (Mehrwert), sumber utama dari keuntungan kapitalis.[29]
Nilai lebih tidak hanya suatu masalah kecurangan. Bagi kelas borjuis, dengan memberikan suatu kompetisi yang yang sempurna, kapitalis dapat membayar pekerja dengan nilai yang sesuai dengan potensi yang dia miliki, memberikan harga komoditas yang sesuai kepada konsumen, dan dengan itu ia dapat menjadi yang teratas di dalam sistem ekonomi. Marx menyalahkan sistem yang berjalan bukan kepada pekerjanya. Marx telah memperlihatkan bahwa kejadian ini bukan sebagai hasil dari orang-orang yang jahat tetapi karena sistem yang ada di dalam ekonomi. Reformasi di dalam sistem mungkin dapat dilakukan, tetapi hal ini dapat gagal karena sistem yang ada sudah cukup kuat. Meskipun ada negara tetapi negara lemah, ia hanya dianggap sebagai kepala eksekutif komite kelas-kelas yang berkuasa. Menurut Marx, hanya dengan jalan revolusi maka akan sukses mengganti seluruh sistem yang ada.[30]

2.5. Akumulasi dan Revolusi

 Kapitalis mengakumulasi nilai lebih bukan karena agar mereka menikmati anggur dan membeli yacht tetapi karena agar mereka tetapi menjadi kapitalis. Akumulasi kapitalis sangat dibutuhkan bagi kapitalis karena mereka juga berada di dalam suatu kompetisi. Dengan semakin tingginya tekanan kompetisi membuat membuat suatu merusahaan harus terus meningkatkan produksi dan membuat inovasi melalui teknologi agar tetap terus mendapat penghasilan dan berada diatas pesaing yang lain. Cara terbaik untuk mengakumulasi kapital adalah melalui nilai lebih. Marx menyebut terdapat “constant capital” seperti mesin dan tanaman yang tidak menghasilkan nilai lebih. Sedangkan pekerja yang tereksploitasi dan menghasilkan dnilai lebih disebut “variable capital”. Dengan semakin ketatnya kompetisi, harga komoditas dapat jatuh, ketatnya kompetisi juga membuat kenaikan gaji pekerja, namun dalam waktu yang sangat singkat.[31]
Untuk menurunkan kemungkinan turunnya harga komoditas dan kenaikan gaji pekerja, kapitalis berusaha membuat “mesin” penyimpanan pekerja, tetapi hal ini hanya akan memperoleh hasil yang sedikit di pasar. Jika keadaan semakin memburuk dan tidak ada kemungkinan untuk tetap hidup, maka perusahaan akan diambil oleh perusahaan besar yang lain yang mampu mengkonsolidasi unit-unit dan mengontrol dan meningkatkan kapasitas produksi. Teori ini disebut sebagai “expropriation”.[32]
Sistem penyimpanan pekerja yang telah disebutkan diatas akan bekerja saat para pekerja dirumahkan, sebagai akibat dari pengangguran, dan penghasilan akan turun. Kemudian Marx menyebut akan ada “industrial reserve army” (pasukan cadangan industri) untuk mendeskripsikan pengangguran. Ketika pekerja semakin sulit untuk mencari pekerjaan, mereka akan semakin besar dan akan terkumpul dalam suatu unit besar sehingga akan menemui suatu “break point” sesuai dengan keinginan sistem kapitalis.[33]
Terdapat ketidakkonsistenan dari Marx pada proses ini. Pada awalnya Marx muda, menyatakan bahwa pemilik pabrik akan sangat merugi jika ia membeli mesin baru, selama ia mendapatkan surplus value dari pekerja. [34]  Tetapi Marx kemudian merevisi pernyataannya dengan menyatakan bahwa mereka harus menambah mesin baru dalam memenuhi kompetisi, bila tidak dilakukan mereka akan tidak akan mampu bersaing dengan perusahaan lain. Dalam beberapa poin McDonald melihat bahwa sistem Marxian seperti teori “invisible hand” Adam Smith disatu sisi ia menyatakan harus dilakukan dan sebaliknya, mereka pun juga mengatakan kondisi akan lebih baik bila memenuhi kriteria yang mereka telah sampaikan tetapi pada kenyataannya keadaan justru memburuk.
Sistem ekonomi Marx yang berdasarkan deduksi membawa kesalahan dalam teorinya. Gaji pekerja tidak pernah turun, semakin banyak mesin tidak berarti semakin sedikit pekerja, dan kegagalan Marx adalah revolusi tidak pernah terjadi dimanapun di dunia ini. Apa yang terjadi di Rusia di tahun 1917 atau di China tahun 1949 hanya memiliki sedikit persamaan dengan revolusi yang dikatakan oleh Marx.[35] Sedangkan negara-negara industri seperti Inggris, Jerman dan Amerika Serikat dimana logika Marx berjalan, tidak terjadi revolusi proletarian, justru revolusi seperti tidak mungkin terjadi di negara-negara industri seperti Inggris dan Jerman.

2.6. Komunisme dan Masyarakat Tanpa Kelas

Baik Marx ataupun Engels tidak banyak berbicara mengenai apa yang terjadi setelah revolusi. Engels yang menulis dalam buku-bukunya Anti-Duhring dan Socialism: Utopian and Scientific menyebutkan bahwa kelas proletar menguasai kekuasaan negara dan mengubah proses produksi dari suatu perusahaan menjadi dibawah kekuasaan negara. tetapi dengan melakukan hal ini, telah menghilangkan kelas proletar, dan mengakhiri perbedaan kelas dan antagonisme kelas. Hal ini juga menyebabkan hilangnya kekuasaan negara termasuk negara itu sendiri. Pemerintah diambil alih oleh suatu administrasi bersama yang berfungsi untuk mengarahkan proses produksi.[36]
Bagi Engels kata “negara” mempunyai konotasi yang negatif, bahkan Engels tidak begitu tertarik dengan adanya negara proletarian. Marx dan Engels tidak terlalu tertarik dalam membuat teori politik, dalam The Origin of the Family, Private Property and the State, Engels mendiskusikan tentang merkembangan nsitutsi yang dimulai dari komunalisme primitif. Kemunculan dari negara menurutnya dapat diidentifikasi dari peningkatan properti milik pribadi dan pembentukan hubungan hukum yang menjadi konstitusi abgi kemunculan negara modern. Negara modern menurut Marx maupun Engels merupakan instrumen dari kelas yang berkuasa.[37]
Marx dalam tulisannya yang berjudul Address to the Communist League menyatakan bahwa kelas proletar harus berhati-hati terhadap borjuis demokrat yang setelah revolusi berusaha untuk memberikan lahan kepada petani atau masyarakat sebagai properti milik pribadi. Marx lebih memilih menasionalisasi lahan tersebut dan mengorganisasikannya menjadi lahan yang dimiliki oleh kelompok proletariat. Ia akan berusaha menyerang reaksioner dan akan satu langkah didepan pada setiap agenda reformasi yang dungkapkan oleh kelompok demokrat. Kelompok pekerja harus disentralisasi dibawah komite eksekutif dengan pusatnya berada di Jerman. Semua pekerja harus berhati-hati terhadap kelicikan dari penguasa lokal yang berusaha untuk menghalang-halangi kepentingan kelas pekerja. Marx juga menerima adanya representasi/ perwakilan dari kelas pekerja. Tetapi ia juga berbicara mengenai setiap pekerja di pabrik ataupun pekerja kereta api harus dipersenjatai. Marx kemudian juga menyatakan bahwa periode transisi dari kapitalisme menuju diktator proletariat penuh dengan masalah tetapi selepas dari periode itu akan kegemilangan. Periode komunisme ideal diharapkan oleh Marx sebagai periode dimana aturan dibuat berdasarkan kemampuan mereka dan pekerjaan mereka termasuk keinginan kelas pekerja.[38]
Terakhir, McDonald memberikan pendapatnya tentang Marx. Menurutnya, Marx pada satu sisi brilian, tetapi pada sisi yang alin tidak sukses. Teori surplus value dikatakan McDonald memiliki kesalahan konstruksi karena bedasar pada kondisi saat Marx hidup, sehingga saat ini disebut tidak relevan lagi. Sebagai pembuat teologi, Marx dikatakan naif tetapi sukses. Sukses karena sebagian dari pendukungnya percaya jika loyalitas agama tidak mempunyai pengaruh terhadap sejarah manusia.
Sebagai teoritisi sosial, Marx disebut provokatif dan berpengaruh. Pengaruh besar Marx adalah kelas sebagai determinan utama dari pemikiran manusia. Menurut McDonald beberapa pemikiran Marx, ia mencontohkan kelas borjuis yang menjadi target kritik Marx memiliki karakter-karakter seperti yang dijelaskan Marx –konsepsi optimistis dari masyarakat, terbatasnya peran negara dan kelas sosial. Namun McDonald sendiri mengkritik Marx karena Marx hanya membagi masyarakat ke dalam dua kelas yaitu borjuis dan proletar, ia dianggap terlalu menyederhanakan sejarah umat manusia. Komunis menurut McDonald merupakan korban dari penyederhanaan tersebut.[39]
Selain itu, Marx membahas juga mengenai eksploitasi dan dehumanisasi pada para pekerja yang bekerja di pabrik. Bahkan pemikir borjuis liberal seperti William Cobbett dan John Stuart Mills juga menulis mengenai efek negatif dari sistem industri yang tidak bertanggungjawab. Sehingga Marx membuat suatu solusi, ia memberikan solusi masyarakat tanpa kelas dimana harmoni dan keinginan setiap individu dapat dipenuhi.[40]






DAFTAR PUSTAKA

McDonald, Lee Cameron. 1968. Western Political Theory: Part I and III. New York: Harcourt Brace Jovanovic.
McClelland, J.S. 1996. A History of Western Political Thought. London: Routledge.
Kolakowski, Leszek. 1978. Main Currents of Marxism: Volume 1 The Founders. Oxford: Clarendon Press.
Rauf, Maswadi. 2000. Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Suhelmi, Ahmad. 2004. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.


[1] Lee Cameron McDonald, Western Political Theory: Part I and III (New York: Harcourt Brace Jovanovic, 1968), hlm. 488.
[2] J.S. McClelland, A History of Western Political Thought (London: Routledge, 1996), hlm. 524.
[3] McDonald, Op. cit., hlm. 489.
[4] Ibid.
[5] Leszek Kolakowski, Main Currents of Marxism: Volume 1 The Founders (Oxford: Clarendon Press, 1978), hlm. 120.
[6] McClelland, Op. cit., hlm. 524.
[7] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 272-273.
[8] McDonald, Op. cit., hlm. 489.
[9] Ibid.
[10] McClelland, Op. cit., hlm. 525.
[11] McDonald, Op. cit., hlm. 491.
[12] Ibid.
[13] Suhelmi, Op. cit., hlm. 282.
[14] Ibid., hlm. 284.
[15] McDonald, Op. cit., hlm. 492.
[16] Ibid.
[17] Ibid., hlm. 493.
[18] Maswadi Rauf, Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2000), hlm. 85.
[19] Ibid.
[20] Ibid., hlm. 82.
[21] McDonald, Op. cit., hlm. 495.
[22] Ibid.
[23] Ibid., hlm. 496.
[24] Ibid., hlm. 497.
[25] Ibid.
[26] Rauf, Op. cit., hlm. 79.
[27] McDonald, Op. Cit., hlm. 498.
[28] Rauf, Op. cit., hlm. 84.
[29] McDonald, Op. cit., hlm. 499.
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[32] Ibid., hlm. 500.
[33] Ibid.
[34] Kolakowski, Op. cit., hlm. 263
[35] Ibid., hlm. 253.
[36] McDonald, Op. cit., hlm. 591.
[37] Ibid., hlm. 592.
[38] Ibid., hlm. 593.
[39] Ibid., hlm. 594.
[40] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar