Rabu, 14 Desember 2011

TARIAN IDEOLOGI ISLAM DALAM PANGGUNG KAPITALISME DAN SOSIALISME


TARIAN IDEOLOGI ISLAM
DALAM PANGGUNG KAPITALISME DAN SOSIALISME

Oleh;
Manja Lestari Damanik[1]


“Islam adalah satu-satunya peradaban yang mampu membuat
Barat selalu berada dalam keraguan antara hidup dan mati” –Bernard Lewis-

Key Word: Ideologi, Islam dan Percaturan.
A.     PENDAHULUAN
Berangkat dari sebuah anggapan yang disampaikan oleh Francis Fukuyama bahwa, sejarah perkembangan ideologi-politik umat manusia akan berakhir dengan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal. Kapitalisme sebagai sebuah ideologi tampak menjadi semakin menguat pasca runtuhnya komunisme/sosialisme Uni Soviet. Sedangkan demokrasi liberal yang kini diterapkan di negara-negara maju pasca runtuhnya Kekhalifahan Islam Turki Usmani, maka tentu saja ini akan dijadikan prototype dari pola-pola pemerintahan negara-negara di dunia pada masa yang akan datang.
Kapitalisme dan demokrasi liberal terlihat semakin kuat dengan adanya persatuan dan kesatuan diantara penganut paham ideologi tersebut. Hal ini ditunjukan dengan adanya kesepakatan negara-negara kapitalis dan demokrasi liberal dalam membentuk blok-blok perdagangan, ekonomi, politik dan menyatukan negara-negara dalam sebuah kawasan tertentu untuk kepentingan ekonomi dan politik, seperti di negara-negara Amerika dan Eropa (UERO) serta “Uni Emirat Arab”.
Di sisi lain, pasca runtuhnya negara Uni Soviet, ideologi-ideologi komunis-sosialis kurang mendapat sambutan yang baik oleh negara-negara yang baru saja merdeka. Sehingga hal ini menjadikan ideologi komunis-sosialis menjadi kurang berkembang, untuk tidak mengatakan “susah berkembang”. Tercatat hanya beberapa negara yang menganut paham ideologi komunis-sosialis ini, seperti RRC, Korea Utara, Venezuela, dll.
Meski demikian, yang menarik dari semua kasus-kasus di atas adalah tidak adanya negara yang seratus persen betul-betul menganut dan berkomitmen dengan salah satu paham yang didengungkannya. Amerika dan Eropa misalnya, meskipun dengan slogan demokrasi liberal, pemerintahan di negera-negara tersebut masih memihak dan terkadang melemahkan pihak lawan lainnya yang dianggap akan membahayakan ideologi itu sendiri.
Begitu juga yang terjadi di RRC misalnya, meskipun negara itu menganut paham komunis-sosialis, namun dalam kenyataannya, baik dalam pemerintahan maupun ekonomi menerapkan paham liberal. Begitu juga yang terjadi di Indonesia pasca perjuanagn kemerdekaan 1945, dimana antara kaum Nasionalis, Sosialis dan Islamis saling berebut untuk membangun NKRI dengan jargonnya masing-masing hingga sampai pada sebuah kesepakatan membentuk NKRI dengan berlandaskan PANCASILA.
Kasus tidak jauh berbeda juga terjadi di dunia Arab. Pasca runtuhnya Kekhalifahan Islam Turki Usmani, negara-negara Arab tercerai berai dalam jaring kekuasaan penjajah (kolonialisme) barat. Berdirinya UEA juga tidak sama sekali mewakili sistem pemerintahan Islam pada masa lalu, begitu juga sistem pemerintahan yang dipakai oleh sebagian besar negara-negara di Arab seperti Saudi Arabia, Yaman, Libia, Yordania, dll.
Untuk itu, kiranya apa yang dibicarakan ini dalam pandangan Hegel dan Marx telah sampai pada kesimpulan bahwa evolusi manusia tidaklah “open ended”, tetapi akan berakhir bila manusia telah mencapai suatu bentuk yang sempurna dan terdalam serta memiliki hasrat yang fundamental. Di mana akhir sejarah manusia menurut Hegel sendiri adalah sebuah negara (masyarakat) liberal. Sedangkan Marx menyebutnya sebagai sebuah masyarakat komunis. Dan Al-Qur’an telah mengisyaratkan sebuah pemerintahan/masyarakat dalam bingkai BALDATUN THOYYIBATUN WA ROBBUN GHOFUR.
Maka dari itu, persaingan ideologi-ideologi dunia sebagaimana yang pernah diramalkan oleh Samuel P. Huntington (1996) dalam buku “The Clash of Civilation and the Remaking of World Order” masih akan dan terus menjadi pertanyaan besar yang memerlukan kajian mendalam pada setiap sudut permasalahannya, tentunya di dalam bingkai peradaban yang akan terus bermetamorfosis.

B.     PEMBAHASAN
Banyak orang secara intuitif percaya bahwa kapitalisme itu buruk bagi kehidupan moral[2]. Padahal kalau mau jujur, peradaban yang sesungguhnya harus dibangun oleh sebuah moral yang baik. Maka dari itu, bangunan peradaban akan menjadi baik apabila dibangun dengan batu bata (base/dasar) dan tiang (rote/akar) moral yang baik. 
Agama merupakan salah satu jalan bagi manusia dalam memahami dunia. Manusia di belahan negara manapun, tentu percaya dan mempercayai adanya sesuatu yang ghoib. Sebuah kekuatan yang maha dahsyat diluar kemampuan manusia pada umumnya. Mereka yang demikian itu ada di mana-mana, baik di dunia barat maupun di dunia timur. Dan sebagian dari mereka berjalan dan tersesat dalam putaran hingar-bingar dan kilau lampu-lampu dunia yang tak pernah padam, di sebuah zaman yang mereka sebut sebagai zaman modern.
Ideologi-ideologi agama, baik agama timur maupun agama barat, baik yang turun dari langit maupun yang tumbuh dari bumi, hingga saat ini belum dapat dikatakan sebagai sebuah pintu masuk yang tepat, apa lagi sebagai sebuah jalan keluar yang baik.
Hal ini tidak lain karena, sistem-sistem (baca; ideologi) agama besar tidak dirancang untuk mengeluarkan kita dari hingar-bingar dan kilau lampu dunia yang semakin terang itu. Namun demikian, tidak berarti semua agama-agama tidak mampu memecahkan persoalan-persoalan yang dialami manusia modern pada era sekarang ini. Misalnya, Islam?


            Islam dan Benturan Peradaban
            Samuel P. Huntington dalam bukunya yang berjudul “The Clash of Civilation and the Remaking of World Order” menegaskan bahwa terdapat enam alasan pokok mengenai terjadinya konflik peradaban; Pertama, kenyataan bahwa perbedaan antara peradaban tidak hanya bersifat artifisial, akan tetapi sangat mendasar. Kedua, kenyataan bahwa dunia kini sudah sangat semakin sempit sehingga interaksi antara yang berbeda peradaban semakin meningkat dan cenderung dihadapi dengan cara-cara emosional.
Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial dunia telah membuat banyak orang tercabut dari identitas lokal dan memperlemah negara-bangsa (nation-state) sebagai sumber identitas mereka. Keempat, dominasi Barat yang saat ini berada di puncak kekuatan telah menimbulkan reaksi dunia non-Barat dengan munculnya de-westernisasi dan indegenisasi.
Kelima, kenyataan bahwa karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu dan karena itu kurang bisa kompromi dibandingkan dengan perbedaan politik dan ekonomi. Keenam, kesadaran peradaban bukanlah merupakan d’etre utama dan terbentuknya suatu regionalisme politik dan ekonomi.
Konflik agama-agama sebagaimana dilukiskan dalam Al-Qur’an sudah terjadi sejak zaman pra kenabian Muhammad SAW. Di mana orang-orang Yahudi dan Nasrani dari Bani Israil sering kali melawan titah nabi-nabi mereka sendiri yang telah mendapat petunjuk dari Allah SWT. dan pada awal penyebarannya, Islam pun sudah mengalami berbagai konflik dengan agama dan kepercayaan yang telah ada atau lebih dulu hadir.
Pada masa ini, ketika Islam masih dibawah kepemimpinan Rasulallah Muhammad SAW dan para sahabat, Islam mengalami benturan dengan kaum musyrikin Makkah dan kaum Yahudi-Nasrani-Majusi. Dan pada perkembangan selanjutnya, ketika Islam dipimpin oleh kekhalifahan Umayah dan Abbasiyah, di mana agama Islam telah sampai pada batas-batas negara di luar jazirah Arab, seperti Asia, Afrika dan Eropa.
Dan selama tujuh abad Islam menguasai daratan Eropa, yaitu Andalusia-Cordova di Spanyol. Meskipun untuk yang terakhir ini akhirnya dapat direbut kembali oleh orang-orang Barat (Kristen) dan ini dalam perebutan ini pula yang telah melahirkan konflik berkepanjangan, khususnya pada masa perang salib. Dan sisa-sisa konflik antara Islam dan Barat hingga kini terus berlanjut dan masih akan terus terjadi meski dalam bentuknya yang berbeda dari konflik-konflik yang pernah terjadi di masa lalu.
Secara historis-filosofis, konflik Islam dan Barat (baca; Kristen) secara garis besar lebih banyak dipicu oleh tiga faktor. Pertama, faktor theologis. Kedua, politik. Ketiga, ekonomi. Namun, dari tiga faktor tersebut di atas, faktor theologislah yang paling mendominasi, sehingga opini publik pun menganggap bahwa konflik antara Islam dan Barat adalah konflik antara agama Islam dan agama Kristen. Dan untuk yang terakhir ini tidak seluruh sarjana dan pemerhati sepakat mengenai hubungan dan latar belakang konflik antara Islam dan Kristen serta hubungannya dengan agama-agama lain.
Islam dan Kristen pada masa tertentu merupakan sebuah komunitas yang dapat hidup berdampingan (pada masa nabi di Madinah), namun di masa yang lain kedua agama samawi ini seringkali berada dalam ketegangan dan peperangan (Perang Salib), khususnya ketika terjadi perang suci (holy war). Dinamika ini dalam pandangan Jhon L. Esposito dinyatakan dalam sebuah ungkapan “.....sering kali muncul sebagai dua komunitas yang saling bersitegang dan berada di garis terdepan medan pertempuran demi meraih kekuasaan, tanah, dan jiwa”[3].
Pada tahun 1980 s/d 1990-an  di kalangan umat Islam di Timur Tengah terdapat kecenderungan yang mengarah pada gerakan anti-Barat. Reformasi di tubuh umat Islam dalam hal ini bergerak ke arah penolakan terhadap Barat dan Amerika, baik dalam kehidupan sosial, moral, ekonomi dan politik di dalam masyarakat. Adapun gerakan-gerakan itu dipengaruhi oleh benturan antara Islam dan Barat.
Di antara gerakan yang paling menonjol pada saat itu adalah Revolusi Iran yang menumbangkan rezim sekuler yang mendapat dukungan penuh dari Barat dan Amerika lalu menggantinya dengan konsep syari’at Islam. Dan pada tahun ini pula, di dalam sebuah masyarakat Islam dan Kristen mengalami degradasi moral toleransi secara tajam.
Persoalan konflik antara Islam dan Barat itu sendiri merupakan sebuah persoalan konflik yang berkenaan dengan kebudayaan dan kekuasaan. Dan untuk meminimalisir konflik ini terus berkepanjangan, Lenin menawarkan sebuah paradigma berimbang dalam menilai Islam dan Barat. Yaitu dengan melakukan dan meletakan determinasi Islam dan Barat secara berimbang.
Bagi Lenin, Islam hendaklah dimaknai sebagai agama yang memuat ajaran-ajaran universal. Pun dengan Barat yang menurut Lenin diposisikan sebagai sebuah peradaban yang juga memiliki doktrin hubungan manusia dengan Tuhan. Sehingga menurutnya, baik Islam dan Barat sesugguhnya memiliki paradigma yang sama, yaitu sebagai pandangan hidup (way of life) manusia.

            ISLAM: Di Antara Percaturan dan Benturan Ideologi-Ideologi Dunia
            Sebelum berbicara ideologi dunia dalam arus pemikiran yang lebih luas seperti kapitalis-sosialis. Secara umum, sejarah percaturan ideologi-ideologi dunia saat ini dibingkai oleh dua arus besar ideologi dunia, yakni Kiri dan Kanan. Dan andai saja kedua arus besar ideologi dunia itu senantiasa konsisten terhadap khittah-nya, tentu saja keduanya, baik Kiri dan Kanan, baik yang berjiwakan kapitalis maupun sosialis, harus menancapkan tiang setinggi-tingginya di atas tiang kemanusiaan sebagai esensi sekaligus orientasinya.
Dan andai saja ideologi-ideologi dunia yang ada saat ini (kapitalis-liberal, sosialis-komunis, dan islam-kristen-yahudi-tao, dll) mengingkari nilai-nilai universal kemanusiaan, maka tidak ada kata lain kecuali ia (ideologi) WAJIB dibantai dan dicampakkan ke tong-tong sampah peradaban dunia bersama bangkai-bangkai peradaban barbarisme.
Hal ini karena, apa pun ideologinya, baik yang bersumberkan pada wahyu (agama/religi) maupun alam (keyakinan/faith), baik yang secara watak historis-politis seperti sosialis yang cenderung berkiblat pada proletarisme maupun kapitalis yang cenderung bersujud pada kaum borjuisme, maka tidak ada KATA untuk tidak mengabaikan hakikat nilai universal kemanusiaan itu sendiri. Karena sesungguhnya, kemanusiaan adalah hakikat terbesar dalam sebuah PERADABAN.
Anthony Giddens dalam bukunya “Beyon Left and Right: The Future of Radical Politics” mengatakan bahwa baik Kiri maupun Kanan (sosialis-kapitalis) telah gagal mengusung proyek besar kemanusiaan. Untuk itu, baik sosialis maupun kapitalis harus dilampaui dengan melahirkan ideologi alternatif yang lebih sejuk dan segar dalam bingkai politik dunia yang lebih memanusiakan manusia (humanius). Di sini Islam sebagai agama yang menunjung tinggi harkat dan martabat manusia dapat berperan menjadi ideologi alternatif sebagaimana yang ditawarkan oleh Anthony Giddens.
Apa yang dikemukakan Giddens tidak lain adalah karena ideologi-ideologi dunia yang ada saat ini sudah mulai tercerabut dari akar-akar dan nilai-nilai kemanusiaan (humanity). Dan untuk mengembalikan atau mewujudkan sebuah peradaban yang berlandaskan kemanusiaan, maka diperlukan kerja keras semua element dalam rangka menerima setiap gagasan atau ide-ide yang bersumberkan pada nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
Ideologi usang yang disebutkan oleh Giddens di atas tidak lain adalah dua ideologi besar yang pernah ada dan pernah berseteru satu dengan lainnya, yaitu kapitalisme dan sosialisme. Kapitalisme-Barat dalam hal ini diwakilkan oleh dua kekuatan besar yang menguasai ilmu pengetahuan, ekonomi, perdagangan, dan militer, yaitu Amerika Serikat dan sebagian besar negara-negara di Eropa. Adapun sosialisme-Timur pasca runtuhnya Uni Soviet, kini diwakilkan oleh RRC dan Korea Utara di Asia dan sebagian kecil negara-negara di Amerika Latin.
Satu hal yang dilupakan oleh Giddens adalah ideologi-ideologi yang bersumberkan pada sumber-sumber agama, misalnya Islam. Islam sebagai ideologi juga mempunyai tata aturan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal ini telah lama menjadi tata aturan yang pernah diterapkan pada abad-abad di mana pemerintahan Islam diterapkan hampir di setiap negara-negara Arab pada masa itu. Yakni pada masa kekuatan Islam masih dibawah kepemimpinan Rasulallah SAW, Khulafaur Rosyidin, kekhalifahan Umayah dan kekhalifahan Abbasiah hingga yang paling akhir kekhalifahan Turki Usmani.
Kenyataan di atas sungguh sangat terbalik jika kita membaca realitas yang terjadi sekarang ini di dunia Barat dan Timur. Kapitalisme maupun sosialisme tidak menjalankan khittah-nya sebagaimana mestinya, di mana nilai-nilai kemanusiaan tidak lagi dijunjung tinggi sebagai sebuah nilai yang bersifat universal di atas nilai-nilai lainnya, baik itu politik maupun ekonomi. Dengan kata lain, kepentingan-kepentingan dalam ideologi kapitalis-sosialis beserta turunannya harus kembali didekontruksi berdasarkan dan bermuara pada sebuah kepentingan kemanusiaan yang bersifat universal.
Baik kapitalisme maupun sosialisme saat ini telah benar-benar gagal memberikan makna bagi kehidupan manusia di dunia ini, sehingga keselarasan hidup manusia pun mulai terancam. Indikiasinya, perang terjadi di mana-mana, krisis ekonomi dan perdagangan, pemerintahan yang tidak lagi mendapat legitimasi dari rakyatnya, dan masih banyak kekacauan-kekacauan (chaos) yang terjadi di belahan bumi lainnya.
Jika ini di biarkan begitu saja, maka ini akan terus terjadi. Dan Tuhan yang maha baik pun bisa disalahkan karena agama-Nya tidak mampu melawan kedua arus ideologi besar ini. Namun, Tuhan tidaklah demikian. Hal ini karena, kesalahan dan kejahatan ideologis yang menghancurkan kehidupan di muka bumi ini tidak lain adalah karena perbuatan manusia itu sendiri yang begitu riuh dengan konsep-konsep kejahatan hingga tidak dapat lagi mengakomodir dan menyelaraskan sebuah spektrum keberimbangan hidup dan kehidupan.
Ideologi-ideologi dunia, baik kapitalis maupun sosialis kini menjelma menjadi satu kesatuan ideologi yang menamakan dirinya sebagai globalisasi-modernisasi. Arus informasi dan teknologi yang semakin maju dan terus berkembang membawa dampak pada aktifitas manusia yang semakin cepat. Hal ini menjadikan nilai-nilai lokal dan tradisional bertemu (berbenturan/clash) dengan nilai-nilai materialistik-modern, yang pada akhirnya nilai-nilai lokal justru menjadi luntur dan tergerus oleh arus modernisasi dan globalisasi.
Karakteristik terciptanya dunia atau peradaban seperti ini tidak lain adalah sebagai akibat dari perkembangan tatanan industri kapitalis, di mana evolusi industri terlihat sebagai proses yang terencana dan dapat diprediksi. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan erat dengan kemajuan (baca; evolusi) industri pada umumnya dapat mudah diterima sebagai sebuah perwujudan kebenaran yang otoritatif.
Globalisasi dan modernisasi tumbuh semakin pesat akibat adanya respon dari perubahan pola hidup masyarakat yang cenderung mengikutinya. Padahal kedua arus ideologi ini secara perlahan tapi pasti akan memengaruhi tatanan sosial yang sudah mapan dalam sebuah kehidupan bermasyarakat, bahkan sampai pada tatanan sosial yang bersifat personal. Pengaruh-pengaruh ini muncul dan didominasi oleh modernitas kapitalis-Barat. Namun demikian, belakangan ini modernisasi-globalisasi tidak sekadar kontinuitas kapitalisme dan ekspansi Barat.
Pada level kultural, ada anggapan bahwa globalisasi dimaknai sebagai fenomena in here (di sini) yang secara tidak sadar juga dikelilingi oleh kondisi tatanan kehidupan lokal. Dengan demikian, globalisasi tidaklah juga termasuk sebagai sebuah sistem dunia yang mengglobal dan globalisasi bukan pula sebuah fenomena out there (di sana). Dua sisi mata uang ini kemudia menjadikan globalisasi sebagai sebuah pengaruh yang mencerai-beraikan sekaligus menyatukan dan selalu menciptakan stratifikasi-stratifikasi baru yang melahirkan konsekuensi-konsekuensi yang terkadang berlawanan pada wilayah dan lokalitas tertentu.
Di sinilah kemudian Islam berperan dalam membangun kembali ideologi dunia yang berasaskan kemanusiaan. Karena sesungguhnya Islam mengajarkan pemeluknya untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang dalam pengajarannya tercantum pula dalam nilai-nilai ketuhanan. Hal ini membuktikan bahwa, di dalam nilai-nilai ilahiyah (ketuhanan) terdapat nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal.



Islam Rahmatan Lil ‘Alamin vis a vis Welfare Civilation: Upaya Merekayasa Peradaban Dunia
Pada era sekarang ini kita hidup dalam sebuah tatanan dunia yang sedang mengalami ketidakpastian yang direkayasa (created uncertainty) oleh sebuah ide-ide yang abstrak. Di mana ide-ide tersebut mencengkeram seluruh ide-ide dasar dan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk itu, diperlukan sebuah bangunan terobosan besar yang oleh Anthony Giddens disebut sebagai peradaban kesejahteraan (welfare civilation) untuk merealisasikan pandangannya tentang “Jalan Ketiga” (the third way), yang tidak Kanan dan tidak Kiri.
 Islam adalah sebuah agama (syari’at/aturan) sekaligus sebagai sebuah ideologi (al-islamu huwa as-syariati wa as-saqofah). Sebagai sebuah agama, Islam dituntut harus mampu menjadikan kesejahteraan (welfare religion) bagi penganut-penganutnya dan kesejahteraan bagi orang lain dan alam sekitar. Dan sebagai sebuah ideologi dalam rangka merekayasa peradaban dunia (to create of world civilation), Islam dapat dipandang dan memiliki makna sebagai satu-satunya jalan atau pandangan hidup (way of life) bagi manusia dalam rangka mengharapkan kesejahteraan di dunia (welfare state) dan kebahagiaan di akhirat kelak. Allah SWT menurunkan Islam dan menjadikannya tegak di atas aqidah tauhid, yakni aqidah la ilaha illa allah muhammadunr rasulallah (tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah).
Risalah Islam itu sendiri adalah wujud dari sebuah ideologi yang benar, yakni sebuah risalah yang bermuatan universal dan berlaku bagi segenap kehidupan manusia di muka bumi ini dan menjadi tata aturan yang mengatur segala tatanan kehidupan umat manusia secara global, baik di dunia maupun di akhirat. Risalah Islam sebagai wujud ideologi Islam juga merupakan infrastruktur yang mengatasi segala problematika kehidupan manusia, baik ketika berinteraksi dengan Tuhan (khablu min allah) maupun ketika berinteraksi dengan sesama manusia (khablu min an-naas) dan lingkungannya.
Ideologi Islam juga memandang mengenai tata aturan kehidupan tidak hanya sebagai sebuah entitas materi belaka, akan tetapi juga bersifat ruhani transdensial. Adapun cara memandang tata kehidupan ini tidak hanya dengan kedalam ilmu dan pengetahuan yang dimiliki manusia, akan tetapi  melihatnya sebagai sebuah wahyu yang dimanifestasikan dalam sebuah aturan yang wajib untuk dipatuhi yang di dalamnya memuat perintah-perintah dari Allah SWT dan juga memuat segala larangan-Nya.
Dan untuk itu, di mana ketika seseorang sedang menghadapi dan menjalankan kehidupan hidup ini, maka ideologi Islam harus diaplikasikan dan diwujudkan melalui kepatuhan seorang hamba sebagai manusia yang lemah dengan menjalankan semua perintah-perintah Allah SWT dan meninggalkan semua larangan-Nya[4].
Di atas penulis katakan bahwa Islam adalah sebuah agama sekaligus ideologi, maka pada pembahasan ini penulis ingin juga tegaskan bahwa ada anggapan oleh sebagian umat Islam yang mengatakan bahwa Islam adalah sebuah agama sekaligus negara (inna al-islam din wa daulah). Di sini Islam dapat kita pahami sebagai sebuah theologi yang berdimensi ketuhanan dan kekuasaan atau berdimensi theologis-politis.
Pandangan ini bertolak belakang dengan pandangan yang mengatakan pemisahan antara agama (Islam) dan negara. Di mana kelompok ini memiliki cita-cita politik menjadikan sebuah negara yang sekuler. Doktrin yang mereka pakai adalah bahwa agama sama sekali tidak menekankan kewajiban mendirikan negara dan agama hanya memberikan nilai etik-moral dalam membangun tatanan masyarakat dan negara.
Dalam kerangka theologis, golongan ini menyatakan bahwa membangun pemerintahan dan negara Islam tidak termasuk dalam kerangka tugas kenabian sebagaimana yang dirisalahkan kepada Muhammad SAW. Dan beliau hanyalah Rasul yang membawa panggilan agama yang di dalamnya tidak termasuk perintah mendirikan suatu negara. Disamping juga tidak adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang secara tegas (eksplisit) memerintahkan umat Islam membentuk pemerintahan dan negara.[5]
Golongan yang lain beranggapan bahwa hubungan antara agama dan negara harus berada di dalam hubungan yang bersifat simbiotik, yakni suatu hubungan yang timbal balik yang saling memerlukan antara keduanya. Di mana negara dan pemerintahannya membutuhkan panduan etika dan moral sebagaimana diajarkan oleh agama dan agama pun memerlukan juga kawalan negara untuk kelestarian dan eksistensinya. Hubungan mutualisme simbosis inilah yang melahirkan hubungan Islam dan Negara sebagaimana yang diterapkan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Terlepas dari tiga tipe hubungan dalam pemerintahan, Islam dan negara telah banyak menyumbangkan kebudayaan dan peradaban pada sebuah sistem pemerintahan tersebut. Setidaknya terdapat delapan prinsip universal di mana “nilai-nilai” agama ikut serta dan dapat ikut berperan dalam membangun dan merekomendasikan sebuah pemerintahan dan peradaban di dalam sebuah negara yang merdeka.
Kedelapan prinsip-prinsip itu antara lain; Prinsip pertama, as-syuro’ (constultation/musyawarah). Hal ini sebagaimana amanah di dalam Al-Qur’an surat Ali Imron ayat 159: “.......dan musyawarahlah kamu dengan mereka dalam permasalahan dunia”. Dan juga Al-Qur’an surat al-Syuro ayat 38: “Hendaklah urusan mereka tentang permasalahan dunia diputuskan dengan bermusyawarah di antara mereka”. Prinsip ini merupakan dasar-dasar dari sebuah demokrasi yang diterapkan di negara-negara maju. Teori-teori demokrasi yang oleh Barat dikampayekan di akhir dekade ini, ternayata di dalam Islam telah ada sejak 14 abad yang lalu.
Prinsip kedua, al-musawa wa al-ikha (persamaan dan persudaraan). Hal ini sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah di antara kamu adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu”. Prinsip di atas secara tersurat dan tersirat mengakui adanya persamaan (sosial, budaya, politik dan ekonomi dll) di antara seluruh umat manusia dan hanya kadar ketaqwaan yang membedakan menusia di hadapan Allah SWT.
Tujuan yang hendak di raih dari prinsip ini tidak lain adalah sebuah tatanan kebudayaan dan peradaban yang mengakui persaudaraan manusia di dunia. Di mana relasi manusia dengan manusia yang lain memiliki karakteristik yang sama melalui kesetaraan sehingga prinsip ini menolak segala bentuk astribut-astribut sosial seperti diskriminasi ras, suku, etnis, agama dan golongan-golongan tertentu lainnya yang berlaku di masyarakat.
Prinsip ini pernah dipakai oleh Rasulallah Muhammad SAW ketika beliau membengun Madinah. Di mana dalam salah satu kausal perjanjian (Piagam Madinah) tersebut Rasulallah Muhammad SAW mengakui adanya perbedaan latar belakang penduduk kota Madinah. Meskipun demikian, Rasulallah SAW tetap mengakui dan meperlakukan hak dan kewajiban yang sama kepada seluruh masyarakat Madinah yang tinggal di kota Madinah sebagai bagian dari hak dan kewajiban umat Islam dan umat manusia itu sendiri.
Prinsip ketiga, ad-dalalah (justice/keadilan). Prinsip ini mengandung pengertian honesty, fairness, integrity[6]. Yakni sebuah keadilan yang harus ditegakkan tanpa diskriminasi, penuh kejujuran, ketulusan dan integritas. Al-Qur’an sendiri mengatakan bahwa salah satu parameter atau ukuran bagi orang-orang yang bertaqwa adalah keadilan. Hal ini sebagaimana dalam Al-Qur’an surat al-Ma’idah ayat 8: “Berlakulah adil karena adil itu lebih dekat kepada taqwa”. Prinsip ini, dalam setiap keadaan, baik kepada sesama orang Islam maupun dengan umat agama lain harus dijunjung tinggi.
Dan untuk itu kiranya para ulama tidak terlalu berlebihan jika keadilan dijadikan parameter sebagai kemuliaan seseorang. Dan kemuliaan bagi orang yang menegakkan keadilan tanpa memandang status sosial dan astribut-astribut yang berlaku di dalam sebuah masyarakat. Di sinilah pentingnya keadilan, karena hal ini merupakan sebuah nilai etika-moral umat manusia dalam melakukan pergaulan sosial.
Prinsip keempat, al-hurriyah (freedom/kebebasan-kemerdekaan). Prinsip ini adalah sebuah prinsip paling mendasar di dalam sebuah hakikat kehidupan umat manusia. Prinsip ini berlaku pada semua segi kehidupan, dan yang paling menonjol dan substansial adalah kebebasan dalam beragama. Hal ini sebagaimana diungkapkan Al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 256: “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama”.
Islam sendiri mengakui kebebasan tidak hanya sebagai sebuah prinsip, akan tetapi sebagai sebuah hal yang paling mendasar yang ada pada diri manusia. Di mana Islam sangat menghargai kebebasan di satu sisi dan kebebasan individu di sisi lain. Kebebasan manusia dalam hubungannya dengan umat dan kehidupan umat lainnya dalam sebuah tatanan bermasyarakat atau bernegara harus diatur oleh aturan perundang-undangan sehingga kebebasan sesorang tidak dianggap melanggar kebebasan seseorang lainnya.
Hal ini menjadikan bahwa kebebasan individu setiap manusia tidaklah kemudian bersifat absolut dan untuk itu sudah selayaknya bagi setiap individu-individu juga menghormati setiap kebebasan individu-individu lainnya di luar hak dan kewajiban kita sebagai manusia yang memiliki kebebasan dalam arti yang hakiki (Hak Asasi Manusia).
Prinsip kelima, al-amanah (trust/amanat). Hal ini sebagaimana yang disampaikan Allah SWT dalam Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 58: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya”. Dalam konteks pemerintahan, amanah adalah mandat dari rakyat yang di dalamnya ada kontrak sosial yang luhur. Dan dalam konteks peradaban, amanah merupakan bentuk apresiasi seseorang yang menjunjung tinggi kepercayaan dan tanggung jawab.
Prinsip keenam, as-salam (peace/perdamaian). Dalam Islam prinsip ini dituangkan dalam Al-Qur’an surat al-Anfal ayat 61: “Apabila mereka cenderung pada perdamaian, maka penuhilah perdamaian itu”. Islam sendiri sangat mengakui prinsip ini sebagai sebuah doktrin Islam yang harus disebarluaskan di dunia ini. Kata Islam sendiri merupana bentuk turunan (derivasi) dari kata as-salam. Dan dengan prinsip ini diharapkan masyarakat menjadi tenteram dan damai dalam membangun kebudayaan dan peradaban yang diakuinya.
Prinsip ketujuh, at-tasamuh (toleran). Yaitu sebuah prinsip yang saling menghormati di antara sesama umat manusia sebagai sebuah entitas dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam konteks agama, Al-Qur’an surat al-Kafirun ayat 6 menyatakan: “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Hal ini karena sifat dari toleransi yang universal, di mana dalam setiap aspek kehidupan selalu dibutuhkan sikap toleransi antara sesama umat manusia. Tidak hanya yang bersifat profan saja, akan tetapi masalah-masalah yang bersifat sakral sebagaimana yang diungkapkan dalam ayat di atas.
Prinsip kedelapan, at-tawasuth (moderat). Di dalam Al-Qur’an prinsip ini dituangkan dalam sebuah surat al-Baqarah ayat ke 143: “Allah jadikan kalian umat yang wasatho (moderat)”. Prinsip ini merupakan sebuah visi kebersamaan dan saling menghargai perbedaan. Di dalamnya terdapat kemungkinan terjadinya perdamaian, persatuan dan saling tolong menolong di antara sesama dan orang lain. Hal ini lebih memungkinkan jika prinsip tersebut diterapkan dalam setiap pergaulan dengan orang lain, baik dalam wilayah agama, sosial, ekonomi maupun politik.   
Dari delapan prinsip-prinsip di atas, awal perkembangan Islam dapat diterima di seluruh wilayah di dunia. Dan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip ini, Islam telah melahirkan banyak ilmu pengetahuan, kebudayaan dan peradaban selama kurang lebih 14 abad lamanya. Meskipun peradaban, kebudayaan dan ilmu pengetahuan kini telah berpihak pada Barat, namun warisan-warisan Islam pada zaman itu tidak dapat dilupakan begitu saja. Karena sesungguhnya, Islam jugalah yang meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan, kebudayaan dan peradaban yang berlandaskan khittah pada nilai-nilai kemanusiaan (humanity) yang bersifat universal. Dan kapan pada waktunya, bisa saja semua itu dapat kembali ke pangkuan umat Islam. 

C.     PENUTUP
Ruh dan eksistensi ideologi-ideologi dunia pada saat ini telah berkembang jauh melampaui kebutuhan yang dibutuhkan manusia. Di mana pada dasarnya, ideologi adalah untuk melayani kebutuhan hidup kemanusiaan yang sangat heterogen dalam sebuah struktur sosial yang plural. Dan segala bentuk kejahatan ideologis yang terjadi saat ini tidak lain adalah karena struktur kekuasaan yang tidak didasarkan pada nilai-nilai universal kemanusiaan yang termanifestasikan di dalam tujuh prinsip yang ada di Al-Qur’an (Islam).
Berangkat dari tulisan ini, jika Francis Fukuyama meramalkan bahwa sejarah perkembangan IDEOLOGI-POLITIK umat manusia akan berakhir dengan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal. Maka penulis beranggapan bahwa sejarah perkembangan IDEOLOGI-AGAMA (yang di dalamnya termasuk juga politik, ekonomi dan budaya) umat manusia akan berakhir dengan kemenangan ISLAM.
Demikian ini karena, sesungguhnya Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai”.

Wallahu a’lam bi showab.
















DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim
Ali Abd al-Razaq. Al-Islam wa Usul al-Hukm: Bahs al-Khalifah wa a-Hukumah fil al-Islam. Kairo. Maktabah al-musyarokah. 1925.
Anthony Giddens. “Beyon Left and Right: The Future of Radical Politics”. Polity Press. Cambridge. 1994. Terj. Imam Khoiri. IRCiSoD. Jogjakarta. 2003.
Francis Fukuyama. The Great Discruption: Human Nature and the Reconstitution of Sosial Order. Profile Books. London. 2000.
Hans Wehr. A Dictionary of Modern Written Arabic. Beirut: Librairie Du Liban. 1980.
Jhon L. Esposito. The Islamic Threat: Myth and Reality. New York: Oxford University Press. 1992.
Mukhotim El-Moekry. Islam: Agama, Ideologi dan Hukum. Jakarta: Wahyu Press. 2003.
Samuel P. Huntington. The Clash of Civilation and the Remaking of World Order. New York: Simon and Schuster, 1996.




[1]Bendahara Umum PB KOHATI 2011-2012.
[2]Francis Fukuyama. The Great Discruption: Human Nature and the Reconstitution of Sosial Order. Profile Books. London. 2000.


 
[3]Jhon L. Esposito. The Islamic Threat: Myth and Reality. New York: Oxford University Press. 1992. Hal. 46





[4]Mukhotim El-Moekry. Islam: Agama, Ideologi dan Hukum. Jakarta: Wahyu Press. 2003. Hal 18-19
[5]Ali Abd al-Razaq. Al-Islam wa Usul al-Hukm: Bahs al-Khalifah wa a-Hukumah fil al-Islam. Kairo. Maktabah al-musyarokah. 1925. Hal. 65
[6]Hans Wehr. A Dictionary of Modern Written Arabic. Beirut: Librairie Du Liban. 1980. Hal 596

Tidak ada komentar:

Posting Komentar